Senin, 30 Januari 2023

MALU ADALAH AHLAK ISLAM

Malu Adalah Akhlak Islam
MALU ADALAH AKHLAK ISLAM



عَنْ أَبِي مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بِنْ عَمْرٍو الأَنْصَارِي الْبَدْرِي رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُوْلَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ.  رواه البخاري

Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara  yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’”

TAKHRÎJ HADÎTS
Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh: Al-Bukhâri (no. 3483, 3484, 6120), Ahmad (IV/121, 122, V/273), Abû Dâwud (no. 4797), Ibnu Mâjah (no. 4183), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath (no. 2332), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/411, VIII/129), al-Baihaqi (X/192), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 3597), ath-Thayâlisi (no. 655), dan Ibnu Hibbân (no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân).

PENJELASAN HADÎTS
Pengertian Malu
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[1]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. 

Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.

Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. 

Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[2]

Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[3]

Keutamaan Malu
1. Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.
Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.

“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq ‘alaihi]

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.

“Malu itu kebaikan seluruhnya.” [4]

Malu adalah akhlak para Nabi ,  terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang dipingit.

2. Malu adalah cabang keimanan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.

“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang Iman.”[5]

3. Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.

“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”[6]

4. Malu adalah akhlak para Malaikat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.

“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.”[7]

5. Malu adalah akhlak Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.

“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.”[8]

6. Malu sebagai pencegah pemiliknya dari melakukan maksiat.
Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu anhu yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.

“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”[9]

Abu ‘Ubaid al-Harawi  rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan maksiat.”[10]

7. Malu senantiasa seiring dengan iman, bila salah satunya tercabut hilanglah  yang lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.

“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”[11]

8. Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.

“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar tempatnya di Neraka.”[12]

Malu Adalah Warisan Para Nabi Terdahulu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya salah satu perkara  yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian terdahulu…”

Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antara perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa Jalla adalah berakhlak malu.[13]

Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap  baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi terdahulu.[14]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Adalah Sosok Pribadi yang Sangat Pemalu
Allah Azza wa Jalla berfirman :

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. [al-Ahzâb/ 33:53]

Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.”[15]

Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.”[16]

Makna Perintah Untuk Malu dalam Hadits Ini
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”

Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, di antaranya:
1. Perintah tersebut mengandung arti peringatan dan ancaman.
Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla :

   اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

…perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.[Fushilat/41:40]

2. Perintah tersebut mengandung arti penjelasan.
Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

Baca Juga  Wajib Mengikuti Manhaj Para Shahabat Radhiyallahu Anhum
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.

“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[17]

Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[18]

3. Perintah tersebut mengandung arti pembolehan.
Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.”[19]

Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.[20]

Malu Itu Ada Dua Jenis
1. Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.

“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”[21]

Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[22]

2. Malu yang timbul karena adanya usaha.
Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza wa Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.[23]

Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Sufyan berkata,

فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.

“Demi Allah Azza wa Jalla , kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).”[24]

Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh sebagai pendusta.

Konsekuensi Malu Menurut Syari’at Islam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.

“Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla  dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.”[25]

Malu yang Tercela
Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.[27]

Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah yang syar’i, malu mencari nafkah yang  halal untuk keluarganya bagi laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar.

Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,

لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.

“Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.”[28]

Ummul Mukminin ‘Âisyah  radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,

نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.

“Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.”[29]

Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi menimba ilmu yang bermanfaat.

Ummu Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”[30]

Wanita Muslimah dan Rasa Malu
Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan  bumi dan mendidik generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala  berfirman,

فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak kami)…” [Al-Qashash/28: 25]

Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara  berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.

Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan  yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat  lancang, maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat.[31] Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.

Setiap suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain. 

Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun ikut hilang.

Baca Juga  Niat Untuk Berbuat Baik Mendapat Pahala
Buah dari Rasa Malu
Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan berlaku ‘iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa‘ (setia/menepati janji).

Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang lain.

Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.[32]

Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. 

Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. 

Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. 

Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”[33]

FAWÂÎD HADÎTS

Malu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi terdahulu.

Sifat malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para Nabi terdahulu.
Hadits ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih menyeluruh. 

Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula kebaikannya.

Malu adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk.

Malu yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang tercela.

Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.
Buah dari malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan) dan wafa’ (setia).
Malu adalah bagian dari iman yang wajib.

Orang-orang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan jelek.

Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang pemalu.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sangat pemalu.

Malaikat mempunyai sifat malu.
Lawan dari malu adalah tidak tahu malu (muka tembok), ia adalah perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan.

 Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ.

 “Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.”[34]

Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak mereka.
MARAJI’

Alqurân dan terjemahnya.
Kutubus Sab’ah.
Al-Adâbul Mufrad, karya Imam al-Bukhâri.

Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul Hisân ‘ala Shahîh Ibni Hibbân.

Mustadrak al-Hâkim.
Sunan al-Baihaqi.
Syarhus Sunnah, karya Imam al-Baghawi.

Al-Mu’jâmul Kabîr, karya Imam ath-Thabrâni.

Al-Mu’jâmush Shaghîr, karya Imam ath-Thabrâni.
Hilyatul Auliyâ’, karya Imam Abu Nu’aim.

At-Targhîb wat Tarhîb, karya Imam al-Mundziri.
Fathul Bâri, karya al-Hâfizh Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, cet. Dârul Fikr.

Madârijus Sâlikîn, karya Ibnul Qayyim, cet. Dârul Hadîts-Kairo.
Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ’, karya Ibnu Hibbân al-Busti.

Jâmi’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali. Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhim Bâjis.
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.

Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr.
Qawâ’id wa Fawâid minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya Nâzhim Muhammad Sulthân.

Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr. Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.

Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.

Al-Hayâ’ fî Dhau-il Qurânil Karîm wal Ahâdîtsi ash-Shahîhah, karya Syaikh Sâlim bin ‘Ied al-Hilâli.

Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhish Shâlihîn, karya Syaikh Sâlim bin ‘Ied al-Hilâli
Referensi :

 

Jumat, 27 Januari 2023

hak dan kewajiban suami istri .

Terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri dalam membina rumah tangganya. Apabila hak dan kewajiban suami istri ini ditunaikan, maka dapat mendatangkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Lantas, apa saja hak dan kewajiban suami dan istri dalam Islam? Berikut penjelasannya.

Setelah menikah, berlakulah hak dan kewajiban yang tidak dimiliki sebelumnya. Pengertian hak adalah segala sesuatu yang melekat dan mesti diterima seseorang, sedangkan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan.

Pernikahan dalam Islam pada dasarnya bertujuan untuk membentuk rumah tangga harmonis. Salah satu upaya untuk membangun dan menjaga keharmonisan tersebut adalah dengan menunaikan hak dan kewajiban.

Dengan begitu, baik suami maupun istri sadar akan kewajibannya atas pasangan sehingga haknya pun dapat pantas untuk terpenuhi sebagaimana mestinya.

Dikutip dari Modul Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA/SMK Bab 4 Pernikahan dalam Islam, disebutkan hak dan kewajiban paling penting yang dilakukan suami dan istri.


Kewajiban-Kewajiban dalam Hubungan Suami-Istri

Kewajiban suami terhadap istri, antara lain:

  1. Suami wajib memberi nafkah lahir kepada istri seperti pakaian, dan tempat tinggal; dan memenuhi nafkah batin kepada istri seperti cinta, kasih sayang, dan perhatian.
  2. Menggauli istri secara makruf, yaitu dengan cara yang layak dan patut misalnya dengan kasih sayang, menghargai, memperhatikan, dan sebagainya.
  3. Memimpin keluarga dengan cara membimbing dan memelihara semua anggota keluarga dengan penuh tanggung jawab.
  4. Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi pribadi yang saleh.
  5. Menjaga martabat dan kehormatan istrinya. Sebab, sudah menjadi kewajiban seorang suami untuk memberikan pendidikan agama kepada istrinya agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berperilaku baik, dan menjaga diri dari perbuatan dosa.


Kewajiban istri terhadap suami, antara lain:

  1. Istri wajib patuh dan taat kepada suami. Menaati suami merupakan perintah Allah SWT. Sebab dalam rumah tangga, seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus didengar dan ditaati selama dalam batas kebaikan dan sesuai dengan ajaran Islam.
  2. Memelihara dan menjaga kehormatan diri dan keluarga serta harta benda suami. Hal ini sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa 34, "Wanita salihah adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka."
  3. Mengurus dan mengatur rumah tangga dengan baik sesuai dengan fungsinya.
  4. Memelihara dan mendidik anak terutama pendidikan agama.
  5. Berhias untuk suami. Berhias bagi seorang istri untuk suaminya termasuk perbuatan yang bernilai ibadah.
  6. Bersikap rida dan syukur pada suami.
  7. Menciptakan suasana rumah tangga menyenangkan dan penuh ketenteraman.


Hak-Hak dalam Hubungan Suami-Istri

Hak suami atas istri, antara lain:

  1. Suami wajib ditaati oleh istri dalam seluruh perkara, kecuali maksiat. Ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, "Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang makruf."
  2. Suami berhak mendapatkan pelayanan yang baik dari istrinya.
  3. Dimintai izin oleh istri yang hendak keluar rumah. Istri tidak boleh keluar rumah kecuali seizin suami.
  4. Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya. Rasulullah SAW bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, "Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali dengan izin suaminya."
  5. Disyukuri nafkah halal dan kebaikan yang diberikannya. Istri harus mensyukuri setiap pemberian suaminya.


Hak istri atas suami, antara lain:

  1. Istri berhak mendapat mahar dari suaminya. Mahar merupakan hak mutlak seorang wanita yang dinikahi dengan penuh kerelaan.
  2. Istri berhak atas nafkah makan dan minum, pakaian, hingga tempat tinggal dari suaminya, sekalipun sang istri kaya atau mampu.
  3. Mendapat perlakuan yang baik dari suaminya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, "Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya."
  4. Mendapatkan bimbingan dari suaminya agar selalu taat kepada Allah SWT.
  5. Mendapat perlakuan adil.

Demikian hak dan kewajiban suami istri dalam Islam. Selain terdapat hak yang harus dipenuhi oleh masing-masing, terdapat pula hak-hak bersama kedua belah pihak.

Hak ini bersifat sama seperti saling berperilaku dan bersikap baik, tidak mengungkit pemberian atau kesalahan yang lalu, menjaga silaturahmi antarkerabat dan teman suami maupun istri, dan sebagainya.

KEWAJIBAN SUAMI ISTRI.

Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Kehidupan Rumah Tangga




* Hj. Khairiyah Saat Menyampaikan Materi Tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam Kehidupan Rumah Tangga

 - Dalam membina kehidupan berumah tangga ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing suami dan istri. 

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Hj, Khairiyah kepada kepada 60 peserta catin Bimbingan Perkawinan yang diselenggarakan oleh Seksi Bimas Islam Kantor Kemenag Kabupaten Karimun, Senin (31/8/2020) di Aula Kemenag Kabupaten Karimun.

"Kewajiban suami kepada istri adalah mempergaulinya secara ma’ruf, memberinya nafkah, lahir dan batin, mendidik istri, dan menjaga kehormatan istri dan keluarga." Jelas Hj. Khairiyah.

Adapun kewajiban istri kepada suami, lanjut Hj. Khairiyah adalah taat kepada suami, menjaga amanat sebagai istri/ibu dari anak-anak, rabbatu al-bayt atau manajer rumahtangga, menjaga kehormatan dan harta suami dan meminta izin kepada suami ketika hendak bepergian dan puasa sunnah.

Selanjutnya adalah kewajiban bersama suami istri yakni menjaga iman dan meningkatkan ketaqwaan, menjaga agar senantiasa taat kepada Allah, yang diwujudkan dalam sikap menjadikan syariat Islam sebagai tolak ukur perbuatan (miqyasu al-’amal) dalam semua aspek kehidupan, seperti beribadah bersama, menjaga makanan dan minuman agar halal, selalu menutup aurat, dan mendidik anak agar menjadi anak yang shaleh.

"Suami istri harus pula selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah SWT dengan cara selalu bersabar ketika menghadapi kesulitan, tawakal bila mempunyai rencana, selalu bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan, saling mengingatkan dalam kebaikan, mempererat tali silaturahim dengan keluarga suami istri dan lain sebagainya." tambah Hj. Khairiyah.

"Bila semua hak dan kewajiban  suami dan istri serta kewajiban bersama ditunaikan dengan sebaik-baiknya, Insya Allah keluarga sakinah akan terwujud. 

Karena keluarga sakinah adalah buah dari ketundukan suami istri kepada ajaran dan nilai-nilai Islam." Tutup Hj. Khairiyah.


Terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri dalam membina rumah tangganya. Apabila hak dan kewajiban suami istri ini ditunaikan, maka dapat mendatangkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Lantas, apa saja hak dan kewajiban suami dan istri dalam Islam? Berikut penjelasannya.

Setelah menikah, berlakulah hak dan kewajiban yang tidak dimiliki sebelumnya. Pengertian hak adalah segala sesuatu yang melekat dan mesti diterima seseorang, sedangkan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan.

Pernikahan dalam Islam pada dasarnya bertujuan untuk membentuk rumah tangga harmonis. Salah satu upaya untuk membangun dan menjaga keharmonisan tersebut adalah dengan menunaikan hak dan kewajiban.

Dengan begitu, baik suami maupun istri sadar akan kewajibannya atas pasangan sehingga haknya pun dapat pantas untuk terpenuhi sebagaimana mestinya.

Dikutip dari Modul Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA/SMK Bab 4 Pernikahan dalam Islam, disebutkan hak dan kewajiban paling penting yang dilakukan suami dan istri.


Kewajiban-Kewajiban dalam Hubungan Suami-Istri

Kewajiban suami terhadap istri, antara lain:

  1. Suami wajib memberi nafkah lahir kepada istri seperti pakaian, dan tempat tinggal; dan memenuhi nafkah batin kepada istri seperti cinta, kasih sayang, dan perhatian.
  2. Menggauli istri secara makruf, yaitu dengan cara yang layak dan patut misalnya dengan kasih sayang, menghargai, memperhatikan, dan sebagainya.
  3. Memimpin keluarga dengan cara membimbing dan memelihara semua anggota keluarga dengan penuh tanggung jawab.
  4. Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi pribadi yang saleh.
  5. Menjaga martabat dan kehormatan istrinya. Sebab, sudah menjadi kewajiban seorang suami untuk memberikan pendidikan agama kepada istrinya agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berperilaku baik, dan menjaga diri dari perbuatan dosa.


Kewajiban istri terhadap suami, antara lain:

  1. Istri wajib patuh dan taat kepada suami. Menaati suami merupakan perintah Allah SWT. Sebab dalam rumah tangga, seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus didengar dan ditaati selama dalam batas kebaikan dan sesuai dengan ajaran Islam.
  2. Memelihara dan menjaga kehormatan diri dan keluarga serta harta benda suami. Hal ini sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa 34, "Wanita salihah adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka."
  3. Mengurus dan mengatur rumah tangga dengan baik sesuai dengan fungsinya.
  4. Memelihara dan mendidik anak terutama pendidikan agama.
  5. Berhias untuk suami. Berhias bagi seorang istri untuk suaminya termasuk perbuatan yang bernilai ibadah.
  6. Bersikap rida dan syukur pada suami.
  7. Menciptakan suasana rumah tangga menyenangkan dan penuh ketenteraman.


Hak-Hak dalam Hubungan Suami-Istri

Hak suami atas istri, antara lain:

  1. Suami wajib ditaati oleh istri dalam seluruh perkara, kecuali maksiat. Ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, "Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang makruf."
  2. Suami berhak mendapatkan pelayanan yang baik dari istrinya.
  3. Dimintai izin oleh istri yang hendak keluar rumah. Istri tidak boleh keluar rumah kecuali seizin suami.
  4. Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya. Rasulullah SAW bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, "Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali dengan izin suaminya."
  5. Disyukuri nafkah halal dan kebaikan yang diberikannya. Istri harus mensyukuri setiap pemberian suaminya.


Hak istri atas suami, antara lain:

  1. Istri berhak mendapat mahar dari suaminya. Mahar merupakan hak mutlak seorang wanita yang dinikahi dengan penuh kerelaan.
  2. Istri berhak atas nafkah makan dan minum, pakaian, hingga tempat tinggal dari suaminya, sekalipun sang istri kaya atau mampu.
  3. Mendapat perlakuan yang baik dari suaminya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, "Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya."
  4. Mendapatkan bimbingan dari suaminya agar selalu taat kepada Allah SWT.
  5. Mendapat perlakuan adil.

Demikian hak dan kewajiban suami istri dalam Islam. Selain terdapat hak yang harus dipenuhi oleh masing-masing, terdapat pula hak-hak bersama kedua belah pihak.

Hak ini bersifat sama seperti saling berperilaku dan bersikap baik, tidak mengungkit pemberian atau kesalahan yang lalu, menjaga silaturahmi antarkerabat dan teman suami maupun istri, dan sebagainya.

Terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri dalam membina rumah tangganya. Apabila hak dan kewajiban suami istri ini ditunaikan, maka dapat mendatangkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.

Lantas, apa saja hak dan kewajiban suami dan istri dalam Islam? Berikut penjelasannya.

Setelah menikah, berlakulah hak dan kewajiban yang tidak dimiliki sebelumnya. Pengertian hak adalah segala sesuatu yang melekat dan mesti diterima seseorang, sedangkan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan.

Pernikahan dalam Islam pada dasarnya bertujuan untuk membentuk rumah tangga harmonis. Salah satu upaya untuk membangun dan menjaga keharmonisan tersebut adalah dengan menunaikan hak dan kewajiban.

Dengan begitu, baik suami maupun istri sadar akan kewajibannya atas pasangan sehingga haknya pun dapat pantas untuk terpenuhi sebagaimana mestinya.

Dikutip dari Modul Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Kelas XII SMA/SMK Bab 4 Pernikahan dalam Islam, disebutkan hak dan kewajiban paling penting yang dilakukan suami dan istri.


Kewajiban-Kewajiban dalam Hubungan Suami-Istri

Kewajiban suami terhadap istri, antara lain:

  1. Suami wajib memberi nafkah lahir kepada istri seperti pakaian, dan tempat tinggal; dan memenuhi nafkah batin kepada istri seperti cinta, kasih sayang, dan perhatian.
  2. Menggauli istri secara makruf, yaitu dengan cara yang layak dan patut misalnya dengan kasih sayang, menghargai, memperhatikan, dan sebagainya.
  3. Memimpin keluarga dengan cara membimbing dan memelihara semua anggota keluarga dengan penuh tanggung jawab.
  4. Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi pribadi yang saleh.
  5. Menjaga martabat dan kehormatan istrinya. Sebab, sudah menjadi kewajiban seorang suami untuk memberikan pendidikan agama kepada istrinya agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berperilaku baik, dan menjaga diri dari perbuatan dosa.


Kewajiban istri terhadap suami, antara lain:

  1. Istri wajib patuh dan taat kepada suami. Menaati suami merupakan perintah Allah SWT. Sebab dalam rumah tangga, seorang suami adalah kepala rumah tangga yang harus didengar dan ditaati selama dalam batas kebaikan dan sesuai dengan ajaran Islam.
  2. Memelihara dan menjaga kehormatan diri dan keluarga serta harta benda suami. Hal ini sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa 34, "Wanita salihah adalah yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada oleh karena Allah telah memelihara mereka."
  3. Mengurus dan mengatur rumah tangga dengan baik sesuai dengan fungsinya.
  4. Memelihara dan mendidik anak terutama pendidikan agama.
  5. Berhias untuk suami. Berhias bagi seorang istri untuk suaminya termasuk perbuatan yang bernilai ibadah.
  6. Bersikap rida dan syukur pada suami.
  7. Menciptakan suasana rumah tangga menyenangkan dan penuh ketenteraman.


Hak-Hak dalam Hubungan Suami-Istri

Hak suami atas istri, antara lain:

  1. Suami wajib ditaati oleh istri dalam seluruh perkara, kecuali maksiat. Ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, "Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang makruf."
  2. Suami berhak mendapatkan pelayanan yang baik dari istrinya.
  3. Dimintai izin oleh istri yang hendak keluar rumah. Istri tidak boleh keluar rumah kecuali seizin suami.
  4. Istri tidak boleh puasa sunnah kecuali dengan izin suaminya. Rasulullah SAW bersabda sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, "Tidak boleh seorang istri puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali dengan izin suaminya."
  5. Disyukuri nafkah halal dan kebaikan yang diberikannya. Istri harus mensyukuri setiap pemberian suaminya.


Hak istri atas suami, antara lain:

  1. Istri berhak mendapat mahar dari suaminya. Mahar merupakan hak mutlak seorang wanita yang dinikahi dengan penuh kerelaan.
  2. Istri berhak atas nafkah makan dan minum, pakaian, hingga tempat tinggal dari suaminya, sekalipun sang istri kaya atau mampu.
  3. Mendapat perlakuan yang baik dari suaminya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, "Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya."
  4. Mendapatkan bimbingan dari suaminya agar selalu taat kepada Allah SWT.
  5. Mendapat perlakuan adil.

Demikian hak dan kewajiban suami istri dalam Islam. Selain terdapat hak yang harus dipenuhi oleh masing-masing, terdapat pula hak-hak bersama kedua belah pihak.

Hak ini bersifat sama seperti saling berperilaku dan bersikap baik, tidak mengungkit pemberian atau kesalahan yang lalu, menjaga silaturahmi antarkerabat dan teman suami maupun istri, dan sebagainya.