Setiap orang tentu mendambakan hadirnya seorang anak, baik itu laki-laki ataupun perempuan.
Kehadirannya menjadi penyempurna sebuah kehidupan rumah tangga sehingga belum lengkap rasanya sebuah keluarga jika belum mempunyai anak.
Kehadirannya menjadi qurrata a’yun, penyejuk mata bagi kedua orang tuanya.
Begitu berharganya keberadaan anak, sehingga setiap orang tua akan melakukan apa saja untuk kebahagiaan dan kesuksesan anak.
Seringkali orang tua kerja keras banting tulang; kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala.
Berpeluh, memeras keringat untuk anak yang dicintai dan diharapkan akan menjadi kebanggaan orang tuanya kelak.
Maka, dalam hal ini Allah telah memperingatkan kepada hamba-Nya untuk menjaga dan mempersiapkan sebaik-baiknya anak mereka sebagai generasi penerus yang kuat, kokoh, tidak lemah.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam Q.S. Annisa ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Ayat ini berisi peringatan bagi para orang tua untuk sebisa mungkin menyiapkan anak-anak mereka sebagai generasi penerus yang kuat, tidak lemah dan takut.
Hal ini tidak hanya menyangkut masalah materil, tetapi juga immateril berupa akhlak, kecerdasan, dan berbagai macam keahlian dan keterampilan lainnya.
Pertanyaannya adalah mengapa anak itu begitu penting dan berarti bagi orang tua? Dalam hal ini, kita bisa pahami bahwa anak adalah merupakan investasi bagi orang tua baik di dunia maupun di akhirat.
Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak yang shalih yang mendo’akannya” (HR. Muslim).
Anak shalih yang mendoakan kedua orangtuanya menjadi garansi (jaminan) tidak terputusnya pahala orang tua meskipun mereka sudah meninggal dunia.
Maka, orang tua mana yang tidak menginginkan investasi jangka panjang akhirat seperti ini dengan memiliki anak yang shalih?
Mungkin hanya orangtua yang tidak memiliki kesadaran akallah yang tidak menginginkannya.
Sedangkan, untuk investasi dunia, sudah jelaslah seorang anak yang shalih akan berterima kasih dan berbakti kepada kedua orangtuanya dengan segala macam cara.
Ia tidak akan berbuat durhaka dan menyakiti kedua orangtuanya.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh orangtua dalam rangka menyiapkan anak sebagai investasi dunia akhirat ini antara lain:pertama, mendidik anak sejak dalam kandungan.
Meski masih berada dalam kandungan, orangtua sudah bisa memulai pendidikan untuk buah hatinya.
Justru di saat inilah, sejak janin berusia 4 bulan, sel-sel otaknya terbentuk, dan dilanjutkan dengan tersambungnya hubungan antarsel otak.
Karena itu, memberinya asupan nutrisi yang cukup dan beragam stimulasi akan dapat menunjang perkembangan otaknya dengan optimal.
Stimulasi tersebut antara lain, memberinya sentuhan kasih sayang, mengajaknya mengobrol, memperdengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an, memperkenalkannya dengan kata-kata baik, membacakan cerita, dan sebagainya.
Semua stimulasi ini dapat dirasakan oleh janin seiring dengan perkembangan fungsi organnya.
Yang kedua, menanamkan dasar-dasar agama.
Jangan lewatkan waktu untuk menanamkan nilai-nilai agama kepada anak sejak dini.
Hal ini penting, sebab akan menjadi fondasi bagi kesuksesan hidup anak selaku hamba Allah.
Kokohkan akidah anak agar ia dapat meniti di jalan yang lurus dengan selamat.
Luqman pernah menasihati anaknya, sebagaimana terekam dalam surat Luqman [31]: 13, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah.
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”Kemudian, ajari cara beribadah yang benar, sehingga anak akan terbiasa melakukannya ketika memasuki usia wajib shalat.
Begitu pula dengan akhlak, tanamkan akhlak yang baik (husnul khuluq) kepada anak seperti yang dicontohkan Rasulullah agar ia tumbuh menjadi anak yang shalih dan berakhlak mulia.
Seiring tumbuhnya harapan agar sang anak menjadi anak yang shalih, sudah semestinya orangtua menunjukkan bahwa dirinya juga shalih dan dekat kepada Allah.
Jika ayah menyuruh anak shalat, misalnya, perlihatkan dulu bahwa ayah tak pernah meninggalkan shalat.
Ajak anak untuk shalat berjamaah, meskipun ia belum mampu melakukan gerakan shalat dengan baik.
Pun saat mengajarkan sedekah atau ibadah lainnya, akan lebih mengena bagi anak apabila ia melihat orangtuanya melakukan hal tersebut.
Selanjutnya yang ketiga adalah membiasakan melakukan kegiatan bermanfaat.
Seperti halnya kertas kosong, hidup anak perlu diisi dan diarahkan dengan kegiatan yang bermanfaat, baik dalam hal ibadah, belajar, bermain, ataupun lainnya.
Susun kegiatan yang bisa dilakukan untuk anak mulai dari pagi hingga ia tidur, dan upayakan agar anak disiplin menjalaninya.
Misalnya, membiasakan anak untuk shalat Subuh berjamaah di masjid bersama ayah, mengaji Al-Qur’an dan latihan hafalan tiap habis shalat, menonton TV atau melihat layar perangkat digital apa pun hanya dua jam sehari, serta orangtua punya jadwal rutin untuk membacakan anak cerita atau kisah-kisah para nabi.
Usahakan pula untuk memperdengarkan murattal agar telinga anak terbiasa dengan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dan yang terakhir, mengajarkan investasi dan kemandirian ekonomi. Sedari kecil anak sudah bisa diajari untuk berinvestasi.
Namun, menurut Ahmad Gozali (perencana keuangan), bukan untuk menyiapkan dana pendidikan si anak.
“Belajar investasi bagi anak tujuannya adalah untuk menumbuhkan kebiasaan menabung secara rutin.
Urusan hasil, tidak terlalu penting,” jelasnya.
Bagaimana caranya? Untuk anak SD, bisa dimulai dengan menyisihkan uang jajan.
Ajari dia untuk menabung dulu sebelum jajan, jangan terbalik, jajan dulu baru uang yang sisa ditabung.Pada usia SMP dan SMA, anak sudah bisa mulai dikenalkan dengan bank.
Tabungannya mungkin masih sedikit, tapi dengan menempatkan di bank maka anak menjadi terbiasa dengan pelayanan dan produk lainnya di bank.Di usia ini pula, kata Gozali, anak sudah bisa diajari untuk “mencari uang”, tentu disesuaikan dengan kapasitasnya.
Minimal, anak sudah bisa memahami bahwa uang tidak tumbuh di pohon, tapi harus diusahakan. Dia melihat bagaimana orangtuanya berusaha untuk mendapatkan uang, sehingga ia juga bisa mulai mencoba.
Entah itu dengan bekerja musiman, membantu orangtua di saat liburan, atau berjualan kecil-kecilan. “Targetnya bukan jumlah penghasilan yang diperoleh, tapi pemahaman anak tentang sumber penghasilan, korelasi antara usaha dan hasil.” Wallahu ‘alamu bishowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar