Pada tahun ini, 1 Safar 1444 H jatuh pada hari Ahad 29 Agustus 2022. Bulan Safar terdiri dari 29 hari. Ada sejumlah peristiwa penting di bulan ini, antara lain meletusnya Perang Al-Abwa, yakni perang pertama dalam Islam.
Waddan atau Abwa merupakan salah satu daerah yang terletak di antara kota Mekkahdan Madinah. Oleh karenanya, perang ini diberi nama Perang Abwa atau Perang Wuddah.
Baca juga: Perang Badar (1): Menguji Kesetiaan Kaum Anshar
Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dalam "Fiqhus Sirah Nabawiyah ma’a Mujazin li Tarikhil Khilafahir Rasyidah" menjelaskan, bahwa hadis-hadis shahih dan atsar menyebutkan perintah perang turun setelah hijrahnya Rasulullah SAW.
Di antaranya adalah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, kemudian dipublish oleh Syekh al-Buthi:
اَÙ„ْØ£َÙ†َ Ù†َغْزُÙˆْÙ‡ُÙ…ْ ÙˆَÙ„َايَغْزُÙˆْÙ†َا
Artinya, “Saat ini, kita yang akan memerangi mereka, bukan mereka yang akan memerangi kita.” (HR Bukhari )
Menurut al-Buthi, hadis ini akhirnya direalisasikan pada bulan Safar tahun kedua hijriah bertepatan dengan bulan Agustus, tahun 623 M, tepatnya 12 bulan setelah Rasulullah menetap di Madinah setelah hijrah.
Hadis ini terkait dengan firman Allah sebagai ayat pertama yang mengizinkan umat Islam untuk berperang. Allah berfirman:
Ø£ُØ°ِÙ†َ Ù„ِÙ„َّØ°ِينَ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُونَ بِØ£َÙ†َّÙ‡ُÙ…ْ ظُÙ„ِÙ…ُوا ÙˆَØ¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ عَÙ„َÙ‰ Ù†َصْرِÙ‡ِÙ…ْ Ù„َÙ‚َدِيرٌ
Artinya, “Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” ( QS Al-Hajj : 39).
Syaikh Wahbah Zuhaili dalam tafsir "At-Tafsirul Munir" menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ayat pertama yang memberi izin kepada umat Islam untuk melakukan perang. Tepatnya pada tahun kedua setelah hijrahnya Rasulullah ke Madinah.
Latar belakang turunnya ayat ini tidak lain disebabkan banyaknya hinaan dan cacian sekaligus ancaman yang kerap diluncurkan oleh orang kafir dan musyrik kepada umat Islam saat itu.
Baca juga: Abu Jahal, Sang Penyulut yang Tewas dalam Perang Badar
Strategi Rasulullah
Setelah ada izin dari Allah SWT untuk memberikan perlawanan kepada kaum kafir Quraish yang kian brutal menekan umat Islam, tibalah waktunya umat Islam unjuk badan menghadapi mereka.
Peperangan ini kemudian disebut dengan perang Abwa (ghazwatul Abwa’) atau ada juga yang menamainya dengan perang Waddan (ghazwatul Waddan).
Syekh Sulaiman bin Musa al-Andalusi dalam "al-Iktifa min Maghazi Rasulillah wal Khulafa" mengisahkan, sebelum Rasulullah dan para sahabat bergegas menuju lokasi perang, beliau merencanakan strategi yang akan digunakan saat perang meletus. Kesepakatan terakhir yang diambil Rasulullah dan para sahabat adalah strategi menyekat kaum Quraisy.
Umat Islam berpencar dan menempati tempat yang berbeda, tujuannya tidak lain kecuali agar orang kafir Quraisy bisa dikepung di tempat tersebut. Namun, rencana matang yang umat Islam sepakati tidak terlaksana, hal itu disebabkan orang-orang kafir telah pergi dan pulang sebelum umat Islam datang.
Akibatnya, strategi yang sudah disepakati tidak bisa diterapkan serta upaya pengepungan mereka tidak terlaksana.
Baca juga: Perang Badar (2): Bukti Dahsyatnya Kekuatan Doa dan Keyakinan
Kesepakatan
Setelah umat Islam tidak mendapati seorang pun di tempat perang, mereka pulang tanpa terjadi peperangan. Namun, tanpa Rasulullah dan sahabat sadari, mereka disekat oleh kaum kafir yang diprakarsai oleh Makhsy bin Amr adl-Dlamrah, dan beberapa koalisi kaum kafir dari Bani Dlamrah.
Melihat reaksi mereka yang datang secara tiba-tiba, umat Islam langsung sigap dan siap untuk meluluhlantakkan dan memukul mundur pasukan yang dipimpin oleh Makhsy bin Amr.
Hanya saja, kedatangan mereka ternyata bukan untuk berperang melawan Rasulullah dan umat Islam. Mereka hanya ingin membuat kesepakatan dengan Rasulullah agar antarmereka dan umat Islam tidak berperang sehingga keputusan damai disepakati oleh Rasulullah dan pasukan Bani Dlamrah.
Syekh ‘Ali bin Ibrahim bin Ahmad al-Halabi (wafat 1044 H) dalam kitab "Insanul ‘Uyun fi Siratil Aminil Ma’mun" mengatakan, di antara isi perjanjian itu adalah sebagai berikut:
“Dengan menyebut nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Ini adalah surat perjanjian dari Muhammad Rasulullah untuk Bani Dlamrah. Sesungguhnya, harta dan jiwa mereka dijamin keamanannya, dan sesungguhnya mereka akan mendapatkan pertolongan menghadapi orang-orang yang menyerang mereka, kecuali jika mereka memerangi agama Allah. Dan, jika Rasulullah meminta pertolongan kepada mereka, mereka pun akan menolongnya. Mereka mendapat jaminan keamanan dari Allah dan Rasul-Nya dan diberi pertolongan dari mereka yang baik dan menjaga (perjanjian)."
Baca juga: Dia Muslim Tapi Dalam Perang Badar Jadi Prajurit Kafir Quraisy
Waddan atau Abwa merupakan salah satu daerah yang terletak di antara kota Mekkahdan Madinah. Oleh karenanya, perang ini diberi nama Perang Abwa atau Perang Wuddah.
Baca juga: Perang Badar (1): Menguji Kesetiaan Kaum Anshar
Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dalam "Fiqhus Sirah Nabawiyah ma’a Mujazin li Tarikhil Khilafahir Rasyidah" menjelaskan, bahwa hadis-hadis shahih dan atsar menyebutkan perintah perang turun setelah hijrahnya Rasulullah SAW.
Di antaranya adalah hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, kemudian dipublish oleh Syekh al-Buthi:
اَÙ„ْØ£َÙ†َ Ù†َغْزُÙˆْÙ‡ُÙ…ْ ÙˆَÙ„َايَغْزُÙˆْÙ†َا
Artinya, “Saat ini, kita yang akan memerangi mereka, bukan mereka yang akan memerangi kita.” (HR Bukhari )
Menurut al-Buthi, hadis ini akhirnya direalisasikan pada bulan Safar tahun kedua hijriah bertepatan dengan bulan Agustus, tahun 623 M, tepatnya 12 bulan setelah Rasulullah menetap di Madinah setelah hijrah.
Hadis ini terkait dengan firman Allah sebagai ayat pertama yang mengizinkan umat Islam untuk berperang. Allah berfirman:
Ø£ُØ°ِÙ†َ Ù„ِÙ„َّØ°ِينَ ÙŠُÙ‚َاتَÙ„ُونَ بِØ£َÙ†َّÙ‡ُÙ…ْ ظُÙ„ِÙ…ُوا ÙˆَØ¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ عَÙ„َÙ‰ Ù†َصْرِÙ‡ِÙ…ْ Ù„َÙ‚َدِيرٌ
Artinya, “Diizinkan (berperang) kepada orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu.” ( QS Al-Hajj : 39).
Syaikh Wahbah Zuhaili dalam tafsir "At-Tafsirul Munir" menjelaskan bahwa ayat ini merupakan ayat pertama yang memberi izin kepada umat Islam untuk melakukan perang. Tepatnya pada tahun kedua setelah hijrahnya Rasulullah ke Madinah.
Latar belakang turunnya ayat ini tidak lain disebabkan banyaknya hinaan dan cacian sekaligus ancaman yang kerap diluncurkan oleh orang kafir dan musyrik kepada umat Islam saat itu.
Baca juga: Abu Jahal, Sang Penyulut yang Tewas dalam Perang Badar
Strategi Rasulullah
Setelah ada izin dari Allah SWT untuk memberikan perlawanan kepada kaum kafir Quraish yang kian brutal menekan umat Islam, tibalah waktunya umat Islam unjuk badan menghadapi mereka.
Peperangan ini kemudian disebut dengan perang Abwa (ghazwatul Abwa’) atau ada juga yang menamainya dengan perang Waddan (ghazwatul Waddan).
Syekh Sulaiman bin Musa al-Andalusi dalam "al-Iktifa min Maghazi Rasulillah wal Khulafa" mengisahkan, sebelum Rasulullah dan para sahabat bergegas menuju lokasi perang, beliau merencanakan strategi yang akan digunakan saat perang meletus. Kesepakatan terakhir yang diambil Rasulullah dan para sahabat adalah strategi menyekat kaum Quraisy.
Umat Islam berpencar dan menempati tempat yang berbeda, tujuannya tidak lain kecuali agar orang kafir Quraisy bisa dikepung di tempat tersebut. Namun, rencana matang yang umat Islam sepakati tidak terlaksana, hal itu disebabkan orang-orang kafir telah pergi dan pulang sebelum umat Islam datang.
Akibatnya, strategi yang sudah disepakati tidak bisa diterapkan serta upaya pengepungan mereka tidak terlaksana.
Baca juga: Perang Badar (2): Bukti Dahsyatnya Kekuatan Doa dan Keyakinan
Kesepakatan
Setelah umat Islam tidak mendapati seorang pun di tempat perang, mereka pulang tanpa terjadi peperangan. Namun, tanpa Rasulullah dan sahabat sadari, mereka disekat oleh kaum kafir yang diprakarsai oleh Makhsy bin Amr adl-Dlamrah, dan beberapa koalisi kaum kafir dari Bani Dlamrah.
Melihat reaksi mereka yang datang secara tiba-tiba, umat Islam langsung sigap dan siap untuk meluluhlantakkan dan memukul mundur pasukan yang dipimpin oleh Makhsy bin Amr.
Hanya saja, kedatangan mereka ternyata bukan untuk berperang melawan Rasulullah dan umat Islam. Mereka hanya ingin membuat kesepakatan dengan Rasulullah agar antarmereka dan umat Islam tidak berperang sehingga keputusan damai disepakati oleh Rasulullah dan pasukan Bani Dlamrah.
Syekh ‘Ali bin Ibrahim bin Ahmad al-Halabi (wafat 1044 H) dalam kitab "Insanul ‘Uyun fi Siratil Aminil Ma’mun" mengatakan, di antara isi perjanjian itu adalah sebagai berikut:
“Dengan menyebut nama Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang. Ini adalah surat perjanjian dari Muhammad Rasulullah untuk Bani Dlamrah. Sesungguhnya, harta dan jiwa mereka dijamin keamanannya, dan sesungguhnya mereka akan mendapatkan pertolongan menghadapi orang-orang yang menyerang mereka, kecuali jika mereka memerangi agama Allah. Dan, jika Rasulullah meminta pertolongan kepada mereka, mereka pun akan menolongnya. Mereka mendapat jaminan keamanan dari Allah dan Rasul-Nya dan diberi pertolongan dari mereka yang baik dan menjaga (perjanjian)."
Baca juga: Dia Muslim Tapi Dalam Perang Badar Jadi Prajurit Kafir Quraisy
(YD1JNI YACHYA YUSLIHA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar