Bagi muslimah, menjaga kebersihan dan kecantikan di area tertentu harus sangat diperhatikan. Salah satunya adalah rutinitasmencukur bulu di area ketiak dan kemaluan. Bagaimana pandangan Islam mengenai hal tersebut? Dan Kapan waktu yang tepat untuk melakukannya sesuai syariat?
Baca juga: Hukum Mendoakan Keburukan
Dalam Islam, ternyata mencukur bulu kemaluan dan mencabut bulu ketiak merupakan dua dari 10 perkara yang merupakan fitrah manusia . Hal ini sebagaimana salah satu hadis shahih, dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada sepuluh hal dari fitrah (manusia); memangkas kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), potong kuku, membersihkan ruas jari-jemari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu pubis dan istinjak (cebok) dengan air.” (HR. Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Ibn Majah).
Hadis ini menerangkan bahwa mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan merupakan sebuah anjuran dan sunnah yang sangat baik.
Baca juga: Bacaan dan Keutamaan Zikir Hauqolah
Dilansir dari laman NU Online, salah satu hikmah dari mencabut bulu ketiak adalah bahwa ketiak merupakan area yang sering menyebabkan bau tak sedap. Sebab itu, mencabut bulunya setidaknya dapat mengurangi bau tersebut.
Haruskah bulu tersebut dicukur atau dicabut? Para ulama berpendapat bahwa mencabut bulu ketiak lebih utama dibanding mencukurnya. Ibnu Hajr dalam Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari mengatakan, mencukur bulu ketiak akan menguatkan bulu dan melebatkannya sehingga menambah batu tak sedap dari ketiak tersebut. Begitu pula dengan Imam Syafi’i dan Imam Al Ghazali yang lebih mengutamakan mencabut dibanding mencukurnya.
Baca juga: Apakah Dagu Perempuan Termasuk Aurat Ketika Shalat?
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin mengatakan, salah satu yang dibersihkan adalah bulu ketiak. Namun bukan berarti kita tidak diperbolehkan untuk mencukurnya. Beliau berkata, “Adapun orang yang terbiasa mencukur (bulu ketiak), maka cukup dengan mencukur itu karena pencabutan sejenis penyiksaan dan tindakan menyakitkan. Sedangkan tujuan dasarnya adalah pembersihan dan untuk mengantisipasi pengendapan kotoran di sela lipatannya. Tujuan itu dapat tercapai dengan pencukuran,".
Begitu juga dengan Imam Syafi’i yang suatu hari ditemui sedang mencukur bulu ketiaknya dibanding mencabutnya. "Aku tahu bahwa sunnahnya adalah mencabut. Tetapi aku tidak kuat menahan sakitnya," tutur Imam As-Syafi’i.
Kemudian Imam An-Nawawi melanjutkan bahwa menggunakan obat penghilang bulu untuk membersihkan bulu ketiaknya masih diperbolehkan.
Kemudian untuk bulu kemaluan, para ulama sepakat untuk mencukurnya saja. Hal ini dinilai cukup untuk membersihkan area yang terdapat bulu. Mengingat juga mencabut bulu di area tersebut akan terasa sangat menyakitkan.
Namun demikian, beberapa ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, sebagaimana penuturan Sulaiman Al-Bujairimi dalam Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib.
“Yang paling afdhal bagi laki-laki adalah mencukur bulu kemaluan, sedangkan bagi perempuan adalah mencabutnya. Para ulama berkata tentang hikmahnya, ‘Bahwa mencabut bulu kemaluan itu bisa mengendalikan syahwat, sedang mencukurnya itu bisa menguatkan syahwat. Berbeda dengan ulama dari kalangan Madzhab Maliki, mereka menyatakan; ‘Karena mencabut bulu kemaluan (bagi perempuan) itu bisa melembutkan kemaluannya.”
Perlu jadi catatan bahwa bukan berarti sebagai perempuan kita diharuskan mencabutnya. Jika merasa tidak sanggup menahan rasa sakit yang disebebkan dari pencabutan bulu kemaluan, maka diperbolehkan mencukurnya tanpa mengurangi nilai kesunnahannya itu sendiri.
Waktu yang Tepat untuk Mencukur
Sementara untuk waktu mencabut dan mencukur bulu-bulu tersebut, disunnahkan untuk dilakukan setiap 40 hari sekali. Hal ini sesuai dengan hadis dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan waktu kepada kami untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabuti bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh hari.” (HR. Muslim, Abu Daud, dan An-Nasa’i).
Baca juga:
Wallahu ‘alam.
Baca juga: Hukum Mendoakan Keburukan
Dalam Islam, ternyata mencukur bulu kemaluan dan mencabut bulu ketiak merupakan dua dari 10 perkara yang merupakan fitrah manusia . Hal ini sebagaimana salah satu hadis shahih, dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada sepuluh hal dari fitrah (manusia); memangkas kumis, memelihara jenggot, bersiwak, istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), potong kuku, membersihkan ruas jari-jemari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu pubis dan istinjak (cebok) dengan air.” (HR. Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Ibn Majah).
Hadis ini menerangkan bahwa mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan merupakan sebuah anjuran dan sunnah yang sangat baik.
Baca juga: Bacaan dan Keutamaan Zikir Hauqolah
Dilansir dari laman NU Online, salah satu hikmah dari mencabut bulu ketiak adalah bahwa ketiak merupakan area yang sering menyebabkan bau tak sedap. Sebab itu, mencabut bulunya setidaknya dapat mengurangi bau tersebut.
Haruskah bulu tersebut dicukur atau dicabut? Para ulama berpendapat bahwa mencabut bulu ketiak lebih utama dibanding mencukurnya. Ibnu Hajr dalam Fathul Bari bi Syarhi Shahihil Bukhari mengatakan, mencukur bulu ketiak akan menguatkan bulu dan melebatkannya sehingga menambah batu tak sedap dari ketiak tersebut. Begitu pula dengan Imam Syafi’i dan Imam Al Ghazali yang lebih mengutamakan mencabut dibanding mencukurnya.
Baca juga: Apakah Dagu Perempuan Termasuk Aurat Ketika Shalat?
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin mengatakan, salah satu yang dibersihkan adalah bulu ketiak. Namun bukan berarti kita tidak diperbolehkan untuk mencukurnya. Beliau berkata, “Adapun orang yang terbiasa mencukur (bulu ketiak), maka cukup dengan mencukur itu karena pencabutan sejenis penyiksaan dan tindakan menyakitkan. Sedangkan tujuan dasarnya adalah pembersihan dan untuk mengantisipasi pengendapan kotoran di sela lipatannya. Tujuan itu dapat tercapai dengan pencukuran,".
Begitu juga dengan Imam Syafi’i yang suatu hari ditemui sedang mencukur bulu ketiaknya dibanding mencabutnya. "Aku tahu bahwa sunnahnya adalah mencabut. Tetapi aku tidak kuat menahan sakitnya," tutur Imam As-Syafi’i.
Kemudian Imam An-Nawawi melanjutkan bahwa menggunakan obat penghilang bulu untuk membersihkan bulu ketiaknya masih diperbolehkan.
Kemudian untuk bulu kemaluan, para ulama sepakat untuk mencukurnya saja. Hal ini dinilai cukup untuk membersihkan area yang terdapat bulu. Mengingat juga mencabut bulu di area tersebut akan terasa sangat menyakitkan.
Namun demikian, beberapa ulama berbeda pendapat mengenai hal ini, sebagaimana penuturan Sulaiman Al-Bujairimi dalam Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib.
“Yang paling afdhal bagi laki-laki adalah mencukur bulu kemaluan, sedangkan bagi perempuan adalah mencabutnya. Para ulama berkata tentang hikmahnya, ‘Bahwa mencabut bulu kemaluan itu bisa mengendalikan syahwat, sedang mencukurnya itu bisa menguatkan syahwat. Berbeda dengan ulama dari kalangan Madzhab Maliki, mereka menyatakan; ‘Karena mencabut bulu kemaluan (bagi perempuan) itu bisa melembutkan kemaluannya.”
Perlu jadi catatan bahwa bukan berarti sebagai perempuan kita diharuskan mencabutnya. Jika merasa tidak sanggup menahan rasa sakit yang disebebkan dari pencabutan bulu kemaluan, maka diperbolehkan mencukurnya tanpa mengurangi nilai kesunnahannya itu sendiri.
Waktu yang Tepat untuk Mencukur
Sementara untuk waktu mencabut dan mencukur bulu-bulu tersebut, disunnahkan untuk dilakukan setiap 40 hari sekali. Hal ini sesuai dengan hadis dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan waktu kepada kami untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabuti bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh hari.” (HR. Muslim, Abu Daud, dan An-Nasa’i).
Baca juga:
Wallahu ‘alam.
(Ustadz Yachya yusliha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar